Breaking

NATO Dukung Serangan AS ke Iran

Ketegangan di Timur Tengah pasca serangan Israel dan Amerika Serikat ke fasilitas nuklir Iran mulai memunculkan respons keras dari berbagai negara, termasuk internal NATO. 

Beberapa sekutu lama AS di Eropa mempertanyakan legalitas serangan tersebut yang dinilai terang-terangan melanggar kedaulatan Iran. Di saat bersamaan, Presiden Turki Recep Tayyip ErdoÄŸan mengeluarkan pernyataan keras yang mengutuk aksi militer Israel dan memperingatkan bahwa Turki bisa jadi target berikutnya.

Presiden ErdoÄŸan secara terbuka menyebut bahwa jika komunitas internasional terus membiarkan agresi Israel, bukan tak mungkin Turki akan menghadapi ancaman serupa. Dalam pernyataannya, ErdoÄŸan menegaskan Turki tidak akan diam bila ada tindakan sepihak yang mengancam stabilitas kawasan, apalagi bila dilakukan oleh Israel atau didukung kekuatan luar.

Di sisi lain, NATO menghadapi dilema besar. Saat ini, aliansi militer tersebut sedang dalam proses peningkatan anggaran pertahanan, awalnya untuk menghadapi ancaman Rusia. Namun pasca eskalasi di Timur Tengah dan tekanan dari Presiden AS Donald Trump, arah kebijakan pertahanan itu dikhawatirkan akan beralih untuk mendukung operasi Israel terhadap Iran.

Kanselir Jerman bahkan sempat menyindir, memuji serangan Israel sebagai ‘dirty work’ Barat yang dilakukan secara frontal oleh Israel dengan sokongan diam-diam dari kekuatan NATO. Pernyataan itu jelas membuka borok kerja kotor Barat selama ini terhadap Iran untuk memperluas ketegangan ke seluruh kawasan Timur Tengah.

Pertemuan puncak NATO di Den Haag pekan ini diperkirakan akan menjadi salah satu yang paling panas dalam sejarah aliansi itu. Pasalnya, selain soal peningkatan anggaran pertahanan, isu Iran disebut akan mendominasi agenda diskusi. Trump disebut mengincar ‘kemenangan diplomatik’ dengan mendorong NATO setuju menambah alokasi dana pertahanan yang pada akhirnya bisa digunakan untuk operasi di Timur Tengah, sebagaimana direncanakan di belakang layar.

Sumber internal NATO mengungkapkan kepada media Eropa bahwa beberapa negara anggota merasa khawatir aliansi mereka dijadikan alat kepentingan politik domestik AS. Terlebih dengan kedekatan Trump dengan Vladimir Putin, ada dugaan bahwa peningkatan anggaran yang semula ditujukan untuk menghadapi Rusia malah dialihkan untuk membantu ekspansi hegemoni Israel.

Mark Rutte, Sekretaris Jenderal NATO asal Belanda, dalam keterangannya menyatakan bahwa serangan AS ke Iran "tidak melanggar hukum internasional." Pernyataan ini memancing gelombang kritik dari aktivis HAM dan beberapa anggota parlemen Eropa yang menilai NATO seolah memberi pembenaran atas pelanggaran kedaulatan negara lain.

Rutte dikenal sebagai sosok yang pernah meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan tentara Belanda saat perang kemerdekaan. Ironisnya, kini di bawah kepemimpinannya, NATO justru dianggap memberikan toleransi terhadap agresi militer yang serupa terhadap Iran.

Media-media Eropa menyebutkan, pernyataan Rutte tersebut merupakan upaya untuk meredam kemarahan Washington dan mengamankan posisinya di hadapan Trump. Beberapa analis politik menyebut langkah ini berbahaya, sebab bisa memperkuat narasi bahwa NATO hanya menjadi perpanjangan tangan kepentingan AS di luar Eropa.

Sementara itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab telah mengutuk upaya peningkatan ketegangan baru. Turkiye menyindir ada upay baru memecah belah Timur Tengah. OKI khawatir eskalasi akan memicu gelombang pengungsi baru dan memperburuk ketegangan sektarian.

Uni Eropa pun terbelah meski Perancis dan Inggris menegaskan akan mendukung Israel dalam memperluas hegemoninya.

Isu anggaran pertahanan menjadi alat tawar menawar utama. Negara-negara anggota yang sejak awal enggan menaikkan anggaran militernya kini dipaksa tunduk dengan iming-iming bahwa dana tersebut untuk menghadapi Rusia. Namun di balik itu, ada kekhawatiran bahwa anggaran justru dipakai untuk membiayai operasi militer di Iran.

Di tingkat domestik AS, Trump terus memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat basis politiknya. Lewat seruan-seruan MAGA (Make America Great Again), Trump mendorong opini publik bahwa langkah agresif terhadap Iran akan memperkuat posisi Amerika sebagai pemimpin dunia.

Kampanye media sosial pro-Trump makin gencar mempromosikan narasi bahwa Iran harus dihancurkan demi agenda-agenda Israel, usai serangan genosida di Gaza yang gagal dihentikan PBB karena veto AS. Sementara di Iran sendiri, pemerintah Tehran menyatakan bahwa tindakan Israel dan AS mendapat restu tidak langsung dari beberapa negara NATO.

Di sisi lain, beberapa diplomat NATO berharap pertemuan puncak ini bisa meredam ketegangan dan menegaskan kembali bahwa aliansi dibentuk untuk pertahanan kolektif, bukan alat politik satu negara. Namun, dengan sikap Trump yang dominan, hasil akhir masih penuh ketidakpastian.

Saat ini yang pasti, Timur Tengah kembali menjadi panggung perebutan pengaruh global, paska pertemuan Menlu Iran dengan Presiden Rusia. NATO, yang semestinya menjaga stabilitas, justru terjebak dalam pusaran politik domestik AS dan agenda ambisius Israel. Sebuah kondisi yang bisa memicu krisis regional berkepanjangan.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.