Breaking

Mengenal Dua Perdana Menteri Yaman dari Pemerintahan Berbeda


Sejak Yaman terpecah akibat konflik berkepanjangan, muncul dua sosok Perdana Menteri yang memimpin dari kubu berbeda. Di Sanaa, di bawah kendali Houthi, jabatan tersebut diemban oleh Ahmed Ghaleb Nasser al‑Rahawi, seorang politisi GPC, General People's Congress atau dalam bahasa Arab: المؤتمر الشعبي العام (al-Mu’tamar al-Sha‘bi al-‘Ä€mm), partai penguasa sebelum Houthi milik Abdullah Saleh, dengan akar suku Al‑Rahawi dari Abyan, sedang di Aden pemerintahan internasional menunjuk Salem Saleh bin Braik sebagai penanggung jawab utama. Keduanya bukan hanya berbeda lokasi, tetapi juga latar belakang dan gaya kepemimpinan yang kontras.

Ahmed al‑Rahawi lahir di Khanfar, Abyan, dan sejak remaja dibesarkan dalam tradisi suku yang memiliki reputasi kuat dalam GPC. Ayahnya, Ghaleb Nasser, juga seorang figur politik lokal sebelum terbunuh di tahun 1970‑an. Al‑Rahawi memulai kariernya di pemerintahan lokal sebagai Kepala Dinas dan Wakil Gubernur pada era awal 2000-an. Berbagai posisi administratif hingga akhirnya bergabung dengan struktur pemerintahan Houthi membuatnya dekat dengan Dewan Politik Tertinggi yang menunjuknya sebagai PM Sanaa pada 10 Agustus 2024  .

Sementara di Aden, Salem Saleh bin Braik lahir di Mukalla tahun 1965. Sebelum diangkat menjadi PM pada 3 Mei 2025, ia lama berkarier di bidang keuangan—mulai sebagai Deputi Menteri, kepala Bea Cukai, hingga Menteri Keuangan pada 2019. Ia dipandang figur teknokrat yang dipercaya mengelola keuangan negara di tengah krisis. Latar belakangnya lebih administratif dan ekonomis, bukan soal loyalitas politik semata.

Dalam hal gaya kepemimpinan, Ahmed al‑Rahawi adalah seorang politisi suku dengan reputasi pragmatis dan loyal terhadap struktur kekuasaan lokal Houthi. Dia dikenal tegas dan penuh realpolitik. Sejak penunjukan, al‑Rahawi langsung merombak kabinet menjadi "Pemerintahan Perubahan dan Konstruksi", simbolisasi upaya restrukturisasi pemerintahan Houthi. Sebaliknya, Salem bin Braik tampil lebih lembut tetapi penuh tekanan; terlalu realistis menghadapi inflasi ekstrem, krisis layanan publik, dan korupsi yang melilit Aden. Rapat kabinet di hari pertamanya menekankan reformasi fiskal, stabilisasi mata uang, dan penegakan lembaga pengawas  .

Berbicara soal mazhab, keduanya adalah figur Sunni. Ahmed al‑Rahawi berasal dari tokoh suku dan latar partai GPC—mazhab mayoritas Sunni. Meski saat memimpin di Sanaa bersama Houthi yang bermazhab Syiah Zaydi, ia tetap pribadi Sunni. Salem bin Braik pun Sunni—dilahirkan di Mukalla dan lama berkecimpung dalam struktur pemerintah Aden, tidak menunjukkan afiliasi Syiah.

Sebelum terjadinya dualisme kekuasaan pasca 2014, al‑Rahawi adalah birokrat lokal yang tidak terlalu dikenal di panggung nasional. Di sisi lain, bin Braik telah lama berkiprah dalam manajemen keuangan publik, tetapi bukan figur politik utama sebelum konflik memperuncing. Dalam fase pertarungan Houthi-Aden, keduanya dipaksa naik ke panggung utama nasional.

Hampir sebulan setelah penunjukan, bin Braik langsung menghadapi kritik publik. Demonstrasi di Aden, Taiz, dan wilayah lain merebak, menuntut listrik, air, dan gaji publik—faktanya layanan dasar memburuk dan nilai riyal terus melorot hingga mencapai rekor rendah terhadap dolar. Al‑Rahawi di Sanaa, meski tidak diwarnai demonstrasi massal, juga menghadapi tekanan suku dan tokoh lokal yang menuntut intervensi dalam konflik internal maupun kebijakan agama.

Pencarian legitimasi menjadi tantangan utama kedua PM. Bin Braik berfokus meraih dukungan koalisi PLC yang berbenturan dengan STC—terutama dalam pengawasan fiskal dan dukungan di wilayah selatan yang dikendalikan STC. Sedangkan al‑Rahawi harus membuktikan kapasitas administratifnya di bawah bayang-bayang Houthi dan tekanan Amerika lewat serangan udara yang intensif terhadap kubu Sanaa.

Secara struktural, al‑Rahawi adalah bagian dari GPC—partai lama era Saleh yang kini pecah antara faksi pro‑Hadi, pro‑Islah, dan pro‑Houthi. Pembentukan kabinet barunya mencerminkan konsolidasi kekuasaan Houthi dengan mempertahankan struktur partai GPC di utara.

Bin Braik, di sisi lain, tidak berafiliasi kuat dengan partai politik tetapi merupakan bagian dari PLC, di mana ia dianggap jembatan antara kubu Hadramawt, STC, dan birokrat Aden. Pendekatannya bersifat lebih pragmatis dan ekonomis ketimbang ideologis.

Sebelum sisi Houthi menguasai Amran dan Sana’a pada 2014, baik al‑Rahawi maupun bin Braik tidak menonjol dalam konflik sektarian. Al‑Rahawi aktif dalam birokrasi dan politik lokal Yaman lewat GPC, sedangkan bin Braik menghabiskan kariernya dalam bidang keuangan publik. Tidak ada riwayat bahwa mereka sebelumnya mendukung Houthi atau tergabung dalam konflik sektarian.

Adanya dua perdana menteri yang saling menantang menggambarkan kondisi Yaman yang terbelah bukan hanya secara geografis, tetapi juga politik dan administratif. Kepemimpinan al‑Rahawi mewakili rezim de facto militer-religius, sementara bin Braik mewakili struktur pemerintahan yang diakui internasional dan berupaya memulihkan negara.

Persaingan ini mencerminkan kerasnya realita Yaman: satu pemerintah mengatasnamakan keamanan dan ideologi, satu lagi menekankan stabilitas ekonomi dan layanan publik. Pertarungan politik Sunni dalam konteks ini juga menunjukkan bahwa mazhab tidak serta-merta menentukan jalan kepemimpinan—tetapi situasi politik membuat keduanya dipaksa bertindak sebagai figur nasional.

Kedua PM ini akan menjadi kunci arah masa depan Yaman. Jika al‑Rahawi berhasil membangun legitimasi administratif dan meredam tekanan dari suku dan milisi, maka Houthi dapat memperkokoh kendali utara. Sementara bin Braik dituntut menyeimbangkan tuntutan ekonomi dan politik internal serta dukungan GCC dan PLC—jika gagal, krisis pelayanan publik bisa memicu kehilangan kepercayaan publik.

Perbedaan gaya kepemimpinan mereka mencerminkan wajah ganda negara Yaman: satu yang berlandaskan kekuasaan milisi dan kontrol agama, satu lainnya berlandaskan prinsip teknokratis dan orientasi pasar. Namun, keduanya tetap figur Sunni yang sama-sama terpaksa bekerja dari kerangka fragmen negara.

Agar Yaman bisa menyatukan kembali dua kubu ini, dialog inklusif antar pemimpin, suku, dan partai sangat dibutuhkan. Kedua PM perlu ambil inisiatif dalam membangun komunikasi lintas sektoral, baik secara langsung maupun melalui mediator internasional. Tanpa rekonsiliasi, Yaman akan terus terperangkap dalam stagnasi politik dan humaniter.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.