Breaking

Oslo, Kesalahan Fatal atau Strategi Berani PLO Palestina

Perjanjian Oslo yang ditandatangani pada 1993 antara Israel dan PLO masih menjadi topik perdebatan hingga kini. Presiden Palestina Mahmoud Abbas menyoroti pernyataan mantan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, yang menyebut bahwa Oslo merupakan “kesalahan fatal” yang dilakukan PLO. Menurut Netanyahu, kesalahan ini justru menguntungkan Israel secara strategis dan menjadi alasan untuk menggelar genosida lanjutan, padahal perjanjian Oslo seharusnya untuk mengakhiri serangkaian pembantaian kepada warga Palestina yang tidak berdosa dilakukan secara bertahap oleh Israel sejak 1948.

Oslo menandai pengakuan resmi Israel terhadap PLO sebagai wakil sah rakyat Palestina. Sementara itu, PLO mengakui hak Israel untuk eksis, langkah yang saat itu dipandang kontroversial di kalangan dunia Arab. Karena dengan logika jika warga Palestina ada yang tidak mengakui hak Israel untuk menjajah menjadi harus dibantai sebagaimana logika neokolonialisme Greater Israel saat itu yabg menjadi teror kepada negara-negara yang tak akui hegemoni Israel.

Kesepakatan Oslo juga membuka jalan bagi pembentukan Otoritas Nasional Palestina (PA), yang diberi kendali administratif sebagian wilayah di Tepi Barat dan Gaza.

Netanyahu berpendapat, tindakan PLO adalah kesalahan fatal karena memberikan Israel legitimasi politik di mata internasional. Dengan pengakuan PLO, Israel dapat memperkuat posisinya di kancah diplomasi global sekaligus menetapkan fakta di lapangan. Netanyahu menilai langkah ini melemahkan posisi PLO dan Palestina dalam negosiasi jangka panjang.

Menurut pandangan Netanyahu, PLO terlalu banyak memberikan konsesi dengan menandatangani Oslo. Kesepakatan itu, menurutnya, membuka peluang bagi Israel untuk memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat dan melakukan genosida di Gaza kapanpun dimaui tanpa tekanan internasional yang signifikan. Dengan kata lain, PLO dinilai menyerahkan terlalu banyak hak dan klaim politik yang seharusnya menjadi dasar negosiasi.

Dari sisi PLO, Oslo bukan kesalahan, melainkan langkah berani yang strategis. Dengan menandatangani perjanjian, PLO berhasil mendapatkan pengakuan internasional sebagai wakil sah rakyat Palestina. Ini adalah kemenangan diplomatik negara Palestina yang kini telah diakui puluhan negara.

Bagii Abbasz PLO mengorbankan sebagian hak untuk mencapai tujuan yang lebih besar: perdamaian dan pengakuan dunia internasional. Oslo memungkinkan PLO membangun institusi politik sendiri melalui Otoritas Palestina dan mengelola sebagian wilayah di Tepi Barat dan Gaza, meski Hamas yang menguasai pemilu Palestina tak akui negara Israel.

Meskipun Oslo membuka peluang diplomatik, langkah Israel sesungguhnya memanfaatkan perjanjian ini untuk memperkuat posisinya di wilayah yang disengketakan. Netanyahu menilai hal ini sebagai keuntungan strategis besar bagi Israel. Sementara itu, PLO harus menyeimbangkan aspirasi rakyat Palestina dengan realitas politik yang sulit.

Pandangan ini menunjukkan perbedaan mendasar antara Israel dan Palestina dalam menafsirkan Oslo. Bagi Israel, Oslo adalah cara untuk menenangkan tekanan internasional dan mengamankan legitimasi. Bagi PLO, perjanjian itu adalah upaya kompromi demi menciptakan jalur menuju negara merdeka.

Netanyahu berfokus pada konsekuensi langsung bagi keamanan dan kepentingan Israel. Dia menilai bahwa dengan Oslo, Israel tetap bisa mengontrol wilayah secara efektif, sementara PLO diberikan sedikit keuntungan nyata. Dari sudut pandang ini, kesalahan PLO terlihat jelas.

Di sisi lain, terdapat dimensi jangka panjang dari Oslo. Bagi Abbas, pengakuan internasional dan peluang untuk mengelola wilayah sendiri adalah kemenangan politik penting bagi Palestina. Kesalahan, menurut Abbas, bukan berada pada PLO, tetapi pada Israel yang mengeksploitasi dan mengingkari kesepakatan itu.

Kritik Netanyahu terhadap Oslo sering dikaitkan dengan perkembangan permukiman Israel di Tepi Barat. Israel mampu memperluas pemukiman meskipun secara resmi, negosiasi sedang berlangsung. Hal ini dianggap Netanyahu sebagai bukti bahwa kesalahan PLO menguntungkan Israel.

Abbas menilai kritik ini mengabaikan konteks berani yang diambil PLO. Tanpa Oslo, PLO tidak akan memiliki pengakuan internasional maupun legitimasi untuk membentuk institusi pemerintahan sendiri. Kesepakatan ini memberi peluang bagi rakyat Palestina untuk berpartisipasi dalam proses politik resmi.

Oslo juga menunjukkan dilema strategis yang dihadapi PLO. Mereka harus menyeimbangkan tekanan internasional, keamanan rakyat Palestina, dan aspirasi untuk negara merdeka. Langkah diplomatik ini menjadi simbol kompromi antara realitas politik dan cita-cita nasional.

Netanyahu melihat Oslo dari perspektif keamanan nasional Israel. Dari sudut pandang ini, PLO menyerah terlalu banyak, sementara Israel dapat menetapkan kondisi di lapangan. Kesalahan fatal bagi PLO menurut Netanyahu adalah memberi Israel kendali diplomatik dan ruang gerak politik.

Posisi Abbas menegaskan bahwa Oslo adalah strategi jangka panjang. PLO berupaya membangun legitimasi internasional, memperkuat posisi politik, dan menciptakan peluang untuk negosiasi yang lebih menguntungkan di masa depan. Kesalahan, jika ada, lebih terlihat pada implementasi Israel, bukan pada PLO.

Perspektif berbeda ini memunculkan ketegangan dalam narasi sejarah Palestina–Israel. Netanyahu menekankan keuntungan Israel, sementara Abbas menekankan keberanian dan strategi PLO. Kedua pandangan mencerminkan interpretasi berbeda terhadap satu perjanjian yang sama.

Oslo tetap menjadi titik penting dalam sejarah konflik Israel–Palestina. Meski dianggap kontroversial, perjanjian ini menandai pengakuan resmi PLO dan membuka jalur diplomasi yang sebelumnya tertutup.

Dampak Oslo terlihat dalam pembentukan Otoritas Palestina, negosiasi bilateral, dan posisi Palestina di dunia internasional. Meskipun perjanjian ini menimbulkan kritik dari berbagai pihak, tidak dapat dipungkiri peranannya dalam membentuk struktur politik modern Palestina.

Kritik Netanyahu dan pembelaan Abbas memperlihatkan dilema klasik negosiasi konflik: apakah kompromi membawa kemenangan jangka panjang atau keuntungan lawan? Oslo menjadi contoh nyata perdebatan ini dalam sejarah politik Timur Tengah.

Pada akhirnya, Oslo tetap menjadi simbol konflik antara kompromi diplomatik dan kepentingan strategis. Bagi Israel, itu peluang untuk memperkuat posisi. Bagi PLO, itu langkah berani menuju pengakuan dan legitimasi internasional.

Perdebatan ini menunjukkan bahwa interpretasi perjanjian sejarah selalu bergantung pada perspektif politik. Netanyahu melihat keuntungan, Abbas melihat keberanian. Oslo menjadi cermin perbedaan tujuan dan strategi kedua pihak, sekaligus titik awal proses damai yang belum tuntas hingga kini.

Pandangan ini mirip dengan pengalaman kelompok pejuang Afghanistan yang ikut membantu Amerika Serikat melawan Uni Soviet pada era Perang Dingin. Saat itu, mereka berjuang untuk mengusir pengaruh Soviet di Afghanistan.

Namun, setelah Uni Soviet mundur, posisi kelompok ini justru dimanfaatkan oleh intelijen AS untuk kepentingan strategis sendiri, yang berujung pada kerugian besar bagi rakyat Afghanistan.

Langkah zigzag intelijen AS dkk membuat negara itu akhirnya dibombardir dan dikuasasi kembali dan Irak juga akhirnya jatuh dan dilanjutkan proyek 'hornet nest' pada musim semi Arab. Jika ditotal jumlah korban tewas, khususnya di kalangan muskim dunia dan Arab dari berbagai rekayasa intelijen AS dkk mencapai 2-10 juta lebih pasca Perang Dingin. Hillary Clinton dan Donald Trump mengakui hal itu saat kampanye presiden. 


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.